Slide # 1

Slide # 1

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 2

Slide # 2

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 3

Slide # 3

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 4

Slide # 4

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 5

Slide # 5

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Selasa, 04 Desember 2007

Kuta, Pada Awalnya “Pasih Perahu”

KUTA memiliki sejarah yang panjang, memang. Sebagai bekas daerah pelabuhan utama di Badung, Kuta memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap arah sejarah Badung bahkan juga Bali. Terlebih lagi tatkala “disulap” menjadi kota pariwisata, Kuta menjadi cikal bakal pengembangan sektor yang satu ini.
Meskipun begitu, penelusuran ihwal kemunculan nama Kuta tiadalah benderang benar. Memang, dalam Monografi Kelurahan Kuta disebutkan asal-usul nama Kuta, tetapi tampaknya lebih didasarkan kepada cerita-cerita warisan leluhur. Hingga kini, cerita-cerita itu masih amat diyakini warga Kuta.
Sekitar tahun 1343, Majapahit dengan mahapatihnya yang terkenal, Gajah Mada mengadakan invasi untuk menaklukkan Bali. Untuk melabuhkan perahu-perahu dan pasukannya, Gajah Mada memilih sebuah tempat di selatan pantai Kuta yang sekarang. Karena saking banyaknya perahu yang berlabuh di tempat itu, masyarakat kemudian menyebutnya sebagai pasih perahu. Pasih dalam bahasa Bali berarti ‘laut’ sehingga pasih perahu bisa diartikan sebagai ‘lautan perahu’. Lokasinya terbentang dari Pantai Kuta ke selatan hingga Tuban.
Kedatangan Gajah Mada dan pasukannya itu juga diikuti sejumlah menega (nelayan) dari Samanjaya, sebuah daerah di wilayah kerajaan Majapahit. Lantaran pendaratan yang sukses di tengah gelombang laut yang cukup besar, mereka pun menjadi sering melabuhkan perahunya terutama di tempat pendaratan perahu Gajah Mada yang berupa onggokan batu karang. Batu karang itu kemudian dipelihara secara turun-temurun.
Sebagai wujud syukur, para menega itu pun melakukan pemujaan ke hadapan Yang Maha Kuasa di tempat tersebut. Akhirnya, lama-kelamaan, tempat itu pun menjadi tempat pemujaan. Tak hanya nelayan yang datang memohon keselamatan, juga penduduk sekitarnya. Manakala terjadi bencana, seperti saat adanya wabah yang menyerang seisi desa, mereka datang ke tempat itu untuk mohon keselamatan. Karenanya, tempat pemujaan itu pun diperluas dan disucikan sebagai sebuah pura yang diberi nama Pura Pesanggaran. Pesanggaran secara harfiah bisa diartikan sebagai tempat peristirahatan atau pesinggahan. Hingga kini, pura yang di-emong para nelayan ini masih dilestarikan.
Barangkali didasari maksud untuk menanamkan pengaruh Majapahit di Bali, Gajah Mada kemudian memberikan nama pada pelabuhan kecil tempat pasukannya mendarat sama dengan nama pelabuhan di Jawa yakni Tuban untuk pelabuhan kecil di bagian Selatan dan Canggu untuk di bagian Utara. Pada perkembangan selanjutnya, nama kedua pelabuhan kecil ini menjadi nama desa di kedua tempat itu sampai sekarang. Sementara tempat di antara kedua pelabuhan kecil itu diberinya nama Kuta yang berarti ‘benteng’.
Tatkala Kuta dikuasai kerajaan Mengwi sekitar abad ke-18, daerah ini lebih terkenal dengan sebutan Kuta Mimba. Mimba berarti alas atau hutan. Memang, ketika itu, Kuta masih merupakan daerah hutan yang sangat lebat. Namun, begitu Mengwi dihancurkan oleh kerajaan Badung yang berakibat Kuta juga dikuasai oleh kerajaan ini, tambahan nama Mimba dihilangkan. Selanjutnya daerah ini pun dikenal dengan nama Kuta saja hingga sekarang. * I Made Sujaya

Minggu, 02 Desember 2007

Bonyoh, antara “Banyeh” dan “Bon Nyuh”

Laporan: I Made Sujaya

NAMA desa ini cukup unik, memang. Orang yang baru pertama kali mendengar nama Bonyoh pasti belum sepenuhnya percaya jika itu merupakan nama sebuah desa di pebukitan Kintamani, Bangli.
Memang masih belum jelas benar, mengapa desa yang terletak sekitar 55 kilometer dari Denpasar dan sekitar 35 kilometer dari Kota Bangli itu disebut Bonyoh. Belum ditemukan bukti-bukti arkelogis, prasasti atau pun lontar yang bisa mengurai asal-usul desa ini.
Bendesa Adat Bonyoh, I Wayan Gandra mengaku hanya mendengar cerita pelingsir yang kebenarannya pun masih belum berani dipastikannya. Ada dua versi asal-usul nama Bonyoh yang pernah diterimanya. Versi pertama menyebut Bonyoh berasal dari kata banyeh (air yang keluar dari tubuh orang meninggal dunia).
Konon, cerita salah seorang warga Bonyoh yang kini sudah berusia lanjut, I Wayan Kanta, dahulu kala Ida Batara sasuhunan di Bonyoh sedang bepergian ke suatu tempat. Dalam perjalanan, pelinggihan (tunggangan) Ida tewas. Dari sinilah kemudian tercium banyeh (bau mayat) sehingga desa tersebut diberi nama Baunyeh yang kemudian lama-kelamaan menjadi Bonyoh.
Versi kedua, Bonyoh disebut-sebut berasal dari kata bon nyuh (bau kelapa). Versi ini diungkapkan mantan Perbekel Desa Bonyoh, I Wayan Nyirma. Konon, dulu wilayah yang kini dikenal dengan nama Bonyoh bernama Desa Kelaan. Di Pura Puseh Kelaan terdapat sebuah pohon besar yang cukup ajaib. Pasalnya, pohon tersebut berbuah keris.
Keanehan ini pun tersebar hingga ke luar desa. Orang-orang dari desa lain pun berbondong-bondong datang ke Kelaan untuk menyaksikan pohon berbuah keris itu. Karena zaman dulu untuk mencapai satu desa dengan desa yang lain cukup melelahkan, sampai-sampai banyak warga luar desa itu menginap di rumah-rumah warga Kelaan.
Sebagai tuan rumah, warga Kelaan tentu saja menjamu krama tamiu itu sebaik-baiknya. Mereka disediakan makanan dan minuman yang layak. Namun, karena lamanya warga luar desa itu menginap di rumah warga Kelaan, persediaan makanan warga Kelaan pun habis. “Sampai-sampai kesinduk (sendok nasi) ikut dijual untuk mendapatkan makanan,” kata Nyirma.
Atas keadaan itu, warga Kelaan pun tangkil ke Pura Puseh Kelan. Bencana kekurangan pangan itu pun diadukan di hadapan Ida Batara di Pura Kelan. Sampai akhirnya buah keris yang banyaknya tiga bilah itu, dua bilah dimohon. Satu bilah di-linggih-kan di meru tumpang tiga di Pura Puseh Kelaan, dan satunya lagi di-pundut. Karena malu tak bisa menjamu krama tamiu, warga Kelaan pergi ke daerah Badung Selatan sembari memundut sebilah keris itu.
“Di Badung warga Kelaan itu kemudian mendirikan lagi desa dengan nama Kelan juga,” tutur Nyirma.
Karena ditinggalkan penduduk aslinya, Kelaan pun sepi. Yang tinggal di sana hanyalah krama tamiu. Mereka itulah yang kemudian menghuni Kelaan.
Perihal berubahnya nama Kelaan menjadi Bonyoh, berawal dari terciumnya bon nyuh (bau kelapa) yang cukup keras. Saat dijamu warga Kelaan, para krama tamiu memang sering disuguhi lawar kelapa dan sejenisnya. Dari sinilah kemudian nama Kelaan diubah menjadi Bonnyuh yang lama kelamaan menjadi Bonyoh.
Entah mana yang benar belum bisa dipastikan. Diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengungkap kesejatian asal-usul nama Bonyoh, memang.
Yang jelas, Bonyoh kini merupakan sebuah desa dengan penduduk 160 kepala keluarga (KK) atau 1.172 jiwa. Terdiri dari satu desa dinas, satu desa adat dan satu banjar. Luas wilayahnya sekitar 434,17 hektar. Dibatasi oleh Desa Bayung Gede di sisi utara, Desa Apuh Sebatu di sisi selatan, Desa Sekaan di timur serta Abuan di sisi barat.
Mata pencaharian penduduk Bonyoh rata-rata sebagai petani ladang. Karenanya, jika Anda datang ke desa ini pada siang hari, pekarangan desa relatif lengang. Sebagian besar penduduknya pergi ke ladang untuk bergelut dengan huma tanah. (*)

Minggu, 25 November 2007


Desa Penuh Ilalang Itu Dinamai Kusamba

DESA Kusamba terbilang sebagai salah satu desa penting juga bersejarah di Klungkung. Betapa tidak, desa yang berada di pesisir pantai ini pernah menjadi ibukota kedua kerajaan Klungkung pada masa pemerintahan Ida I Dewa Agung Putra Kusamba. Kala itu, pusat pemerintahan Klungkung sempat dipindahkan ke Kusamba. Dewa Agung membangun sebuah istana dekat pantai yang diberi nama Kusanegara. Pun, Kusamba tercatat dalam sejarah dengan peristiwa heroik Perang Kusamba yang menjadi kebanggaan masyarakat Klungkung bahkan Bali karena sempat berhasil membunuh Jenderal AV Michiels, pimpinan ekspedisi Belanda ke Bali.
Tiada jelas, kapan sesungguhnya Desa Kusamba mulai lahir. Tokoh-tokoh masyarakat Desa Kusamba hanya mewarisi cerita tentang Kusamba yang dulu berupa hamparan padang ilalang yang luas. “Kusa itu kan artinya ambengan atau ilalang, sehingga diberi nama Kusamba. Istana yang dibangun Raja Klungkung di Kusamba juga diberi nama Kusanegara,” tutur I Made Sudirta, salah seorang tokoh masyarakat Desa Kusamba.
Dalam sejumlah kepustakaan tradisional, nama Desa Kusamba kerap disebut. Dalam lontar Dwijendra Tattwa misalnya, Pantai Kusamba sempat disebut dilalui Danghyang Nirartha dalam perjalanan menuju Pura Goa Lawah. Jauh sebelumnya, dalam lontar Babad Jimbaran disebutkan ada sekelompok orang Pasek dari Kusamba yang meninggalkan desanya dan mengungsi ke Jimbaran mengikuti Dhalem Petak Jingga. Hingga kini kelompok warga Pasek dari Kusamba itu masih ada keturunannya dan nyungsung sebuah pura yang diberi nama Pura Dukuh.
Dhalem Petak Jingga merupakan putra dari Dhalem Putih yang mendirikan Desa Jimbaran. Dhalem Putih bersaudara dengan Dhalem Ireng, kedua-duanya merupakan putra mahkota di kerajaan Gelgel. Desa Jimbaran sendiri, berdasarkan piyagem dalam lontar beraksara Bali yang disimpan di Pura Ulun Swi Jimbaran disebut telah ada sekitar tahun 1060 Saka atau 1138 Masehi. Bila data ini benar berarti Desa Kusamba sudah ada sebelum tahun 1138 Masehi.
Pada masa kerajaan Klungkung, Kusamba menjadi pelabuhan sekaligus benteng terpenting kerajaan. Bahkan, Kusamba berstatus sebagai mancanegara yang berada di bawah raja. Mancanegara kala itu terdapat di kota Klungkung, Gelgel, Satria, Banjarangkan, Akah dan. Sementara di wilayah Nusa Penida terdapat mancanegara Mentigi atau Batununggul.
Pada masa itu, Kusamba juga dikenal dengan pembuatan keris atau senjata tajam lainnya. Keahlian ini dimiliki sekelompok penduduk Pande. Kini, tradisi membuat keris ini masih dilanjutkan sejumlah warga Banjar Pande. Kini Desa Kusamba lebih dikenal sebagai desa nelayan. Memang, aktivitas sebagian penduduknya sebagai nelayan. Kepala Desa Kusamba, IB Suwitajaya menjelaskan jumlah penduduk Kusamba saat ini sebanyak 6.196 orang.

* I Made Sujaya

Batu Lantang, Keajaiban dari “Sela Mangadeg”

DESA Adat Batu Lantang di Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung tidaklah sebatas sebagai lokasi berdirinya Pura Kancing Gumi. Batu Lantang juga memiliki sejarah yang berkaitan erat dengan sejarah pura yang diyakini berstatus kahyangan jagat itu.
Nama Batu Lantang diambil dari bukti kuno yang tersimpan di areal Pura Kancing Gumi. Tinggalan kuno itu berbentuk batu yang cukup panjang. Karena posisinya yang berdiri, batu tersebut dikenal dengan sebutan sela mangaded atau ketela yang berdiri atau batu berdiri.
“Oleh karena batu yang berdiri itu cukup panjang, warga juga menyebutnya batu dawa atau batu lantang. Wilayah di tempat penemuan batu lantang itu kemudian juga diberi nama Desa Batu Lantang hingga sekarang,” tutur Bendesa Adat Batu Lantang, I Made Sarpa.
Awalnya, tutur Sarpa, tidak ada yang tahu ada tinggalan berupa batu panjang. Pasalnya, batu panjang yang juga disebut sebagai Lingga Pasupati itu tertutup oleh pepohonan. Sekelompok orang yang datang ke tempat itu melihat daerah itu cukup bagus untuk dijadikan pemukiman. Mereka pun merabas hutan di tempat itu hingga akhirnya menemukan batu panjang tersebut. Karena dianggap suci, batu panjang itu pun dikeramatkan.
Batu panjang itu, imbuh pemangku Pura Kancing Gumi, Jro Mangku Putu Cinta, pernah digali oleh masyarakat setempat. Penggalian itu ternyata malah merusak batu panjang itu. Batu kuno itu malah terpatah-patah, sementara ujung batunya tidak pernah diketemukan.
“Ketika sampai patahan ke sebelas terjadi keajaiban. Menurut hasil bawos, batu itu memang tidak boleh digali atau dipindahkan karena memang memiliki fungsi khusus untuk menjaga Bali. Ujung batu lantang itu diyakini menyentuh dasar bumi,” ujar Mangku Cinta.
Hasil penelitian Balai Arkeologi Denpasar tahun 1991 menyimpulkan batu lantang itu sebagai menhir. Menhir merupakan bentuk megalitik dari zaman prasejarah yang kerap difungsikan untuk tempat pemujaan.
Ada sebelas buah menhir yang berupa sebelas patahan yang ditemukan. Kesebalas patahan itu dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok lima dan kelompok empat.
Selain menhir, Balai Arkeologi juga menemukan benda-benda arkeologis lainnya seperti keramik asing berupa sebuah guci, sebuah cepuk lengkap dengan tutupnya, empat buah mangkuk dan dua buah piring yang sudah tidak utuh lagi. Keramik-keramik itu diduga berasal dari Dinasti Yuan berkisar abad 13-14, Dinasti Ming berkisar abad ke-17 dan ada di antaranya berasal dari masa peralihan yaitu pada abad ke-18. Ada juga temuan benda perunggu berupa sebuah wadah yang beralasa datar dan sebuah tepian dari sebuah wadah yang cukup besar. Benda-benda perunggu ini berwarna coklat kehitaman dengan patina warna hijau.
Temuan-temuan arkeologis ini menunjukkan Batu Lantang merupakan desa kuno. Melihat struktur Pura Kancing Gumi, dapat diduga pula di Batu Lantang terjadi pertemuan yang apik antara tradisi megalitik dan agama Hindu yang dibawa dari Jawa Timur.
Kini Batu Lantang menjadi satu dari tiga desa adat di wilayah Kaperbekelan (Desa) Sulangai. Dua desa adat lainnya yakni Sulangai dan Sandakan. Desa Adat Batu Lantang terdiri dari satu banjar dengan jumlah penduduknya sekitar 135 kepala keluarga (KK).
Penduduk desa yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari pusat kota kecamatan Petang serta sekitar 40 kilometer dari Denpasar ini sebagian besar melakoni hidup di bidang pertanian dan perkebunan. Daerahnya cukup subur, memang. Di desa inilah bisa dinikmati perkebunan kopi, cengkeh, vanili, kelapa, pisang, ketela termasuk padi sawah yang tumbuh baik.
* I Made Sujaya