Slide # 1

Slide # 1

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 2

Slide # 2

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 3

Slide # 3

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 4

Slide # 4

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Slide # 5

Slide # 5

Far far away, behind the word mountains, far from the countries Vokalia and Consonantia, there live the blind texts Read More

Minggu, 25 November 2007


Desa Penuh Ilalang Itu Dinamai Kusamba

DESA Kusamba terbilang sebagai salah satu desa penting juga bersejarah di Klungkung. Betapa tidak, desa yang berada di pesisir pantai ini pernah menjadi ibukota kedua kerajaan Klungkung pada masa pemerintahan Ida I Dewa Agung Putra Kusamba. Kala itu, pusat pemerintahan Klungkung sempat dipindahkan ke Kusamba. Dewa Agung membangun sebuah istana dekat pantai yang diberi nama Kusanegara. Pun, Kusamba tercatat dalam sejarah dengan peristiwa heroik Perang Kusamba yang menjadi kebanggaan masyarakat Klungkung bahkan Bali karena sempat berhasil membunuh Jenderal AV Michiels, pimpinan ekspedisi Belanda ke Bali.
Tiada jelas, kapan sesungguhnya Desa Kusamba mulai lahir. Tokoh-tokoh masyarakat Desa Kusamba hanya mewarisi cerita tentang Kusamba yang dulu berupa hamparan padang ilalang yang luas. “Kusa itu kan artinya ambengan atau ilalang, sehingga diberi nama Kusamba. Istana yang dibangun Raja Klungkung di Kusamba juga diberi nama Kusanegara,” tutur I Made Sudirta, salah seorang tokoh masyarakat Desa Kusamba.
Dalam sejumlah kepustakaan tradisional, nama Desa Kusamba kerap disebut. Dalam lontar Dwijendra Tattwa misalnya, Pantai Kusamba sempat disebut dilalui Danghyang Nirartha dalam perjalanan menuju Pura Goa Lawah. Jauh sebelumnya, dalam lontar Babad Jimbaran disebutkan ada sekelompok orang Pasek dari Kusamba yang meninggalkan desanya dan mengungsi ke Jimbaran mengikuti Dhalem Petak Jingga. Hingga kini kelompok warga Pasek dari Kusamba itu masih ada keturunannya dan nyungsung sebuah pura yang diberi nama Pura Dukuh.
Dhalem Petak Jingga merupakan putra dari Dhalem Putih yang mendirikan Desa Jimbaran. Dhalem Putih bersaudara dengan Dhalem Ireng, kedua-duanya merupakan putra mahkota di kerajaan Gelgel. Desa Jimbaran sendiri, berdasarkan piyagem dalam lontar beraksara Bali yang disimpan di Pura Ulun Swi Jimbaran disebut telah ada sekitar tahun 1060 Saka atau 1138 Masehi. Bila data ini benar berarti Desa Kusamba sudah ada sebelum tahun 1138 Masehi.
Pada masa kerajaan Klungkung, Kusamba menjadi pelabuhan sekaligus benteng terpenting kerajaan. Bahkan, Kusamba berstatus sebagai mancanegara yang berada di bawah raja. Mancanegara kala itu terdapat di kota Klungkung, Gelgel, Satria, Banjarangkan, Akah dan. Sementara di wilayah Nusa Penida terdapat mancanegara Mentigi atau Batununggul.
Pada masa itu, Kusamba juga dikenal dengan pembuatan keris atau senjata tajam lainnya. Keahlian ini dimiliki sekelompok penduduk Pande. Kini, tradisi membuat keris ini masih dilanjutkan sejumlah warga Banjar Pande. Kini Desa Kusamba lebih dikenal sebagai desa nelayan. Memang, aktivitas sebagian penduduknya sebagai nelayan. Kepala Desa Kusamba, IB Suwitajaya menjelaskan jumlah penduduk Kusamba saat ini sebanyak 6.196 orang.

* I Made Sujaya

Batu Lantang, Keajaiban dari “Sela Mangadeg”

DESA Adat Batu Lantang di Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung tidaklah sebatas sebagai lokasi berdirinya Pura Kancing Gumi. Batu Lantang juga memiliki sejarah yang berkaitan erat dengan sejarah pura yang diyakini berstatus kahyangan jagat itu.
Nama Batu Lantang diambil dari bukti kuno yang tersimpan di areal Pura Kancing Gumi. Tinggalan kuno itu berbentuk batu yang cukup panjang. Karena posisinya yang berdiri, batu tersebut dikenal dengan sebutan sela mangaded atau ketela yang berdiri atau batu berdiri.
“Oleh karena batu yang berdiri itu cukup panjang, warga juga menyebutnya batu dawa atau batu lantang. Wilayah di tempat penemuan batu lantang itu kemudian juga diberi nama Desa Batu Lantang hingga sekarang,” tutur Bendesa Adat Batu Lantang, I Made Sarpa.
Awalnya, tutur Sarpa, tidak ada yang tahu ada tinggalan berupa batu panjang. Pasalnya, batu panjang yang juga disebut sebagai Lingga Pasupati itu tertutup oleh pepohonan. Sekelompok orang yang datang ke tempat itu melihat daerah itu cukup bagus untuk dijadikan pemukiman. Mereka pun merabas hutan di tempat itu hingga akhirnya menemukan batu panjang tersebut. Karena dianggap suci, batu panjang itu pun dikeramatkan.
Batu panjang itu, imbuh pemangku Pura Kancing Gumi, Jro Mangku Putu Cinta, pernah digali oleh masyarakat setempat. Penggalian itu ternyata malah merusak batu panjang itu. Batu kuno itu malah terpatah-patah, sementara ujung batunya tidak pernah diketemukan.
“Ketika sampai patahan ke sebelas terjadi keajaiban. Menurut hasil bawos, batu itu memang tidak boleh digali atau dipindahkan karena memang memiliki fungsi khusus untuk menjaga Bali. Ujung batu lantang itu diyakini menyentuh dasar bumi,” ujar Mangku Cinta.
Hasil penelitian Balai Arkeologi Denpasar tahun 1991 menyimpulkan batu lantang itu sebagai menhir. Menhir merupakan bentuk megalitik dari zaman prasejarah yang kerap difungsikan untuk tempat pemujaan.
Ada sebelas buah menhir yang berupa sebelas patahan yang ditemukan. Kesebalas patahan itu dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok lima dan kelompok empat.
Selain menhir, Balai Arkeologi juga menemukan benda-benda arkeologis lainnya seperti keramik asing berupa sebuah guci, sebuah cepuk lengkap dengan tutupnya, empat buah mangkuk dan dua buah piring yang sudah tidak utuh lagi. Keramik-keramik itu diduga berasal dari Dinasti Yuan berkisar abad 13-14, Dinasti Ming berkisar abad ke-17 dan ada di antaranya berasal dari masa peralihan yaitu pada abad ke-18. Ada juga temuan benda perunggu berupa sebuah wadah yang beralasa datar dan sebuah tepian dari sebuah wadah yang cukup besar. Benda-benda perunggu ini berwarna coklat kehitaman dengan patina warna hijau.
Temuan-temuan arkeologis ini menunjukkan Batu Lantang merupakan desa kuno. Melihat struktur Pura Kancing Gumi, dapat diduga pula di Batu Lantang terjadi pertemuan yang apik antara tradisi megalitik dan agama Hindu yang dibawa dari Jawa Timur.
Kini Batu Lantang menjadi satu dari tiga desa adat di wilayah Kaperbekelan (Desa) Sulangai. Dua desa adat lainnya yakni Sulangai dan Sandakan. Desa Adat Batu Lantang terdiri dari satu banjar dengan jumlah penduduknya sekitar 135 kepala keluarga (KK).
Penduduk desa yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari pusat kota kecamatan Petang serta sekitar 40 kilometer dari Denpasar ini sebagian besar melakoni hidup di bidang pertanian dan perkebunan. Daerahnya cukup subur, memang. Di desa inilah bisa dinikmati perkebunan kopi, cengkeh, vanili, kelapa, pisang, ketela termasuk padi sawah yang tumbuh baik.
* I Made Sujaya